Pelangi di Langit Kelabu (Part 1)

Sedari pagi hujan turun, berdasarkan informasi dari BMKG saat ini kita memasuki musim hujan yang cukup ekstrim. Intensitas hujan yang turun sudah mulai mengkhawatirkan beberapa daerah rawan bencana. Berita banjir, longsor dan pohon tumbang menjadi salah satu do'a manusia untuk dihindarkan darinya. 

Hujan tahun inimembuat ku rindu akan hadirnya pelangi. Sesekali aku menatap keluar jendela, ada rasa yang tak bisa ku gambarkan tentang sebuah rasa rindu yang membeku. 
Aku hanya bisa bercermin pada diriku, menatap potret orangtuaku, keluargaku, adik-adikku dan juga sahabatku. Aku merasa kehilangan diriku sendiri. Aku hanya akan tenggelamkan diriku dalam do'a yang panjang diiringi isakan tangis dari luka hati yang mendalam.

Aku akui diri ini begitu rapuh. Sekuat apapun aku menjalaninya, Aku tetaplah seorang perempuan yang mudah rapuh. 

Hampir setiap hari ku tatap langit yang luas, membuang nafas panjang untuk sekedar ingin melepaskan sesuatu yang begitu menyesakan di dada. 
Hampir setiap hari aku hanya bisa melakukan apa yang aku bisa lakukan, dengan kehilangan senyumku aku memasang topeng tak berekspresi di dalam rumahku.
Ku akui aku membohongi mereka semua. Dalam benakku aku tak ingin keluargaku melihat kerapuhanku. 

Malam demi malam, dalam benakku adalah bagaimana agar adik-adikku dapat tumbuh dengan baik meski tanpa asuhan orangtuanya, sedang aku yang masih saja menenggelamkan diriku dalam pelarianku. Dengan penuh keberanian aku tanggalkan dunia yang telah menyibukanku selama ini dan aku memutuskan untuk selalu berada dipihak keluargaku, hidup normal seperti orang lain.

Namun, kau tau? terkadang meski langit malam cerah bintang pun enggan menampakan cahayanya. Jika saat itu salah satunya alasan untukku bertahan adalah adik-adikku, maka aku ingin mereka bisa hidup mandiri. Karena suatu saat nanti aku tau, aku akan meninggalkan mereka dan suatu saat nanti mereka akan bertemu dengan lingkungan yang menyesakan seperti yang telah aku hadapi. Dan aku hanya ingin jika saat itu tiba mereka lebih kuat dengan dirinya sendiri. 
Tapi bagaimana bisa? aku bahkan tak lebih seperti jam dinding yang bergantung di tembok baginya. aku bahkan hanya memiliki makna mengingatkan ketika mereka melihatku. 

Jiwa ku bergelut atas apa yang terjadi padaku? Bak pohon disambar petir ketika mereka mengatakan mereka tak butuh nasehatku dan aku tak pernah mengerti dengan perasaan mereka. Kini aku tau bagaimana rasanya menjadi orangtuaku saat menghadapi aku yang keras kepala dan selalu berusaha menyalahkan mereka untuk setiap air mata yang aku buang. 
Kini aku merasakan bagaimana perasaan orangtuaku saat aku bergitu keras kepala mencari kebenaran atas perasaanku.

Begitu aku ingin memeluk jiwa-jiwa kecil yang terluka itu, aku tau prosesku pun panjang untuk mengobatinya. Mungkin begitupun yang kini mereka rasakan. Mereka sedang ada pada fase pendewasaan atas diri mereka. Menuntut hak atas dirinya. Aku merasa gagal. Aku tak tau bagaimana aku bisa membantu mereka, karena akupun tak pernah bisa benar-benar menyembuhkan luka itu. Segala upayaku ternyata tak lebih bernilai dari lembaran rupiah yang bisa diupayakan untuk memenuhi kebituhannya. 

Kini aku benar-benar merindukan pelangi yang hadir dilangit kelabu ini. Aku tak tau kapan dia hadir untuk memantulakan cahaya indahnya dalam kedua bola mataku.
Aku, hanya bisa menenggelamkan diriku dalam perjalanan panjang dengan melangitkan do'a-do'a dalam setiap centimeternya. 

Hanya dirimu yang bisa menyembuhkan lukamu sendiri, dan memohonlah pertolongan kepada Allah untuk menyembuhkanmu. Demi Allah Penguasa Langit dan Bumi, aku hanya manusia biasa yang tak bisa membaca isi hati orang lain, dan hanya Dialah yang Maha Mengetahui.

Comments